taushiyyah

TAWAKAL

Oleh : Anha.

Tawakal secara etimologi berasal dari bahasa arab at-tawakkul dengan wazan at-tafa ul, dari asal kata al-wikalah. Jadi, al-mutawakkil ala ahadin berarti mewakili seseorang, yakni pelaksana segala urusan, penjamin terhadap adanya perbaikan sekaligus penyempurna segala perbaikan tanpa merasa terbebani masalah yang besar.

Tawakal secara subtansi terbagi 3 hal :

  1. Tawakal mengenai qismah (nasib), yaitu percaya kepada Allah SWT, sebab taqdir yang ditentukan Allah SWT. Kepadamu tidak akan salah. Keputusan Allah tidak akan berubah. Oleh karena itu engkau wajibmenerimanya.
  2. Tawakal dalam hal pertolongan Allah, yaitu dengan berpegang teguh dan percaya bahwa Allah SWT, akan memberikan pertolongan, selagi bersungguh sungguh ingin meraih pertolongan. Firman Allah :

“Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakalah kepada Allah”(QS.3:159)

“Jika kamu menolong agama Allah,niscaya dia akan menolongmu”(QS.47:7).

“Dan kami selalu berkewajiban menolong orang prang yang beriman”(QS.30:47)

Ayat ayat di atas menunjukan bahwa Allah SWT. Pasti menepati janji janjinya.

  1. Tawakal mengenai rizki dan kebutuhannya. Sebab Allah SWT. Akan memberikan kecukupan rizki dalam kehidupan ini, selama si hamba masih mau melakukan ibadah kepadanya.

Firman Allah :

“Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan keperluanya”(QS. 65:3 )

Rosulullah SAW bersabda:

“Jika engkau mau bertawakal kepada Allah dengan sebaik baik tawakal,niscaya Allah akan memberimu rejeki, sebagaimana memberi rejeki kepada seekor burung.

Pagi keluar dengan perut lapar, dan sore pulang dengan perut kenyang.

Dengan bukti-bukti berdasarkan akal dan syara di atas, maka setiap hamba wajib bertawakal kepada Allah. Jadi subtansi tawakal yang paling penting dalam hal ini adalah tentang pembagian rejeki. Tepatnya, rejeki yang dijadikan jaminan oleh Allah SWT. Kepada makhluk-nya. Secara lebih jelas, engkau dapat melihat pembagian rejeki berikut ini:

Ketahuilah, bahwa rejeki terbagi menjadi empat : rejeki yang dijamin oleh Allah, rejeki yang dibagi, rejeki yang dimiliki, dan rejeki yang dijanjikan. Rejeki tang pertama meliputi makanan sehari-hari yang dijadikan sumnber kekuatan bagi makhluk, tanpa disertai sarana dan prasarana. Dengan kata lain, sumber kekuatan ini dapat diperoleh tanpa adanya usaha. Karena Allah memberikan jaminan ini kepada orang yang benar-benar bertawakal. Secara akal dan hukum syara, Allah membebani kita untuk menyembah dan taat kepadanya dengan seluruh anggota tubuh kita. Oleh karena itu dalam pelaksanaanya, Allah memberikan jaminan rejeki, agar kita kuat melaksanakan tanggungjawab itu.

Sebagian guru aliran karomiyah, mengatakan Allah akan memberikan jaminan rejeki kepada hamba hambanya. Kebijakan ini didasarkan kepada alasan alasan berikut:

Ada tiga alasan mengapa Allah memberikan rejeki kepada hambanya, Pertama,Allah adalah tuan dan kita adalah hamba (budaknya). Tuan harus mencukupi keperluan dan kebutuhan hambanya, karena si hamba telah memberikan pelayanan yang terbaik kepada tuannya. Kedua,Allah menciptakan makhluk, karena itu mereka membutuhkan rejeki. Pada awalnya memang Allah tidak memberikan jalan untuk mencari rejeki. Karena itu manusia tidak mengerti apa rejeki mereka, dari mana datangnya rejeki itu, dan kapan akan datang,sehingga mereka mencari kapan dan dimana rejeki itu diturunkan. Maka Allah SWT pasti akan mencukupkan keperluan mereka dan menyediakan kehadapannya. Ketiga, Allah membebani si hamba dengan menyembah dan mematuhinya, sementara kesibukan dan mencari rejeki dapat menghalangi dan mengganggu ketenangan dalam mengerjakan ibadah. Maka Allah wajib menjamin rejekinya, agar mereka dapat melayaninya dengan baik. Perkataan ini berasal dari orang yang tidak mengetahui rahasia-rahasia ketuhanan. Perkataan yang menyatakan bahwa Allah wajib memberi rejeki adalah pernyataan yang bathil karena tidak berdasar sama sekali.

Adapun yang kedua adalah rejeki yang sudah dibagikan Allah dan ditentukan dalam kitabnya di lauhul mahfud , baik berupa makanan, minuman, dan pakaian. Setiap orang mendapat bagian tertentu dan pada saat tertentu pula. Jika sudah ditentukan kadarnya, niscaya tidak akan ditambah ataupun dikurangi, dan tidak didahulukan ataupun diakhirkan. Rosulullah SAW bersabda:

“Rejeki itu telah dibagi. Tiada orang yang bertaqwa yang dapat menambahnya, dan tiada orang jahat yang dapat menguranginya.”

Rejeki ketiga, adalah rejeki yang dimiliki oleh si hamba. Kekayaan yang dimiliki seseorang tergantung kadar yang ditentukan oleh Allah. Bagian yang boleh dimiliki termasuk rejeki Allah. Hal ini diterangkan dalam firmannya :

“ Belanjakanlah di jalan Allah sebagian dari rejeki yang telah kami berikan kepadamu” (QS. 2 : 254 ).

Rejeki ke empat, adalah rejeki ayang dijanjikan Allah kepada orang yangf bertaqwa. Bagi orang yang bertaqwa, maka Allah telah menjanjikan rejeki halal tanpa disertai kerja. Hal ini ditegaskan dalam firmannya:

“ Barangsiapa bertaqwa kepada Allah, niscaya dia akan mengadakan baginya jalan keluar, dan memberinya rejeki dario arah yang tiada disangka-sangka”(QS. 65 : 2-3 )

Demikianlah macam macam rejeki, dan dengan bertawakal, seseorang akan mendapatkan jaminan kelancaran rejeki.

BENTENG TAWAKAL

Benteng tawakal atau faktor yang mendorong seseorang bertawakal adalah mengingat kembali jaminan yang diberikan oleh Allah SWT. Adapun benteng yang dapat mempertahankan tawakal adalah mengingat keagungan Allah, kesempurnaan ilmunya, kekuasaanya, dan kesuciannya dari sifat pelupa, lemah, dsan kekureangan. Ketika si hamba melaksanakan beberapa faktor ini secara terus-menerus, maka dipastikan ia dapat bertawakal terhadap masalah rejeki.

Jika ditanyakan “apakah dalam kondisi tertentu si hamba diwajibkan mencari rejeki ? Ketahuilah, bahwa rejeki yang dijaminkan Allah SWT, seperti makan yang yang menjadi sumber kekuatan,maka kita tidak mungkin mencarinya, karena hal itu sudah menjadi kehendak Allah SWT. Atas si hamba, sebagaimana persoalan hidup dan mati yang sudah menjadi haknya. Dengan demikian, seorang hamba tidak memiliki hak untuk mencari rejeki ini atau menolaknya. Adapun mengenai rejeki yang dibagikan, maka si hamba tidak diwajibkan mencarinya, karena dia tidak membutuhkan yang demikian. Dia hanya membutuhkan rejeki yang dijamin. Sedangkan rejeki yang dijaminkan ini langsung diberikan oleh Allah. Allah SWT berfirman:

“Dan carilah karunia Allah”. (QS.62 : 10 )

Karunia Allah yang dimaksud di atas adalah ilmu dan pahala..Bahkan dfikatakan bahwa mwncari karunia adalah rukhsoh ( keringanan ), yaitu persoalan yang terjadi setelah adanya larangan. Maka hukum mencari karunia Allah SWT. Adalah mubah, bukan wajib ataupun sunah. Rejeki yang dijaminkan merupakan sebab atau sarana, lalu apakah kita wajib mencari sebab-sebab itu ? Hal ini tidaklah wajib, karena seorang hamba tidaklah membutuhkannya. Ada ataupun tidak, Allah SWT. Tetap melakukan kehendaknya, lalu dari mana dasar yang mewajibkan kita mencari sebab atau sarana itu ? Allah sendiri memberikan jaminan yang mutlak ( absolut ) tanpa disertai syarat tertentu, baik dalam hal mencari amaupun mengusahakan rejeki. Hal ini disitir oleh Allah SWT. Dalam firmannya :

“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi, melainkan Allah lah yang memberi rejekinya” ( QS.11 : 6 ).

Bagaimana mungkin Allah memerintahkan seorang hamba untuk mencari sesuatu yang tidak diketahuinya ? Padahal ia tidak mengetahui sebab apa pun dari rejeki yang diperolehnya, dan makanan maupun pendidikanya. Tak seorangpun dari kita y6ang mengetahui sebab ini secara jelas. Dari mana ia bisa menghasilkannya ? dengan demikian, si hamba tidak wajib mencari rejeki tersebut.

Pada umumnya para nabi dan wali yang bertawakal tidak mencari rejeki. Mereka hanya menyibukan diri dengan beribadah.. Mereka tidak pernah meninggalkan perintahnya dan melakukan kemaksiatan kepadanya. Jelaslah bahwa mencari rejeki dan sebab s3ebabnya bukan merupakan kewajiban bagi si hamba.

Pertanyaan berikutnya , apakah rejeki akan bertambah dengan usaha dan berkurang dengan meninggalkan usaka ? Jawabannya, semua rejeki telah tertulis di lauhul mahfuzh

Baik kadar banyaknya maupun waktunya. Hukum Allah tidak pernah berganti dan berubah sedikitpun. Hal ini diterangkan dalam firman Allah SWT :

“(Kami jelaskan yang demikian itu ) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira dengan apa yang diberikannya kepadamu” (QS. 57 : 23 ).

Jika dengan usaha rejeki menjadi bertambah dan dengan meninggalkannya rejeki berkurang, niscaya orang yang putus asa dan gembira akan memiliki bagian sendiri. Orang yang berputus asa hanya berangan angan, sehingga gagal mendapatkan rejeki. Sementyara orang yang gembira berusaha keras, hingga ia dapat berhasil. Rosulullah SAW. Pernah menjawab pertanyaan si penanya: “ Begitulah, jika engkau tidak mendatanginya ( rejeki ), maka ia akan tetap mendatangimu.”

Jika persoalan pahala dan siksa juga tertulis di lauhul mahfuzh, kamudian kita berusaha mencari pahala itu dan menghindari siksa, maka pertanyaanya: Aapakah pahala dan siksa dapat berkurang dan bertambah dengan adanya usaha dan meninggalkannya ? Maka ketahuilah ! Bahwa mencari pahala menjadi kewajiban si hamba. Karena Allah SWT. Memerintahkan hal ini dan mengancam orang yang meninggalkannya dengan siksa. Allah Swt tidak menjamin pahyala bagi orang yang tidak mengusahakannya. Bertambahnya pahala dan siksa tergantung usaha si hamba. Perbedaan antara keduanya berkaitan dengan sebuah pemikiran, tepatnya apa yang dikatakan oleh para ulama kita: Sesuatu yang tertulis di lauhul mahfuzh, terbagi menjadi 2,yaitu :

Pertama, bagian yang tertulis secara mutlak (absolut) tanpa ada syarat ketergantungan terhadap usaha si hamba. Yang dimaksud dengan ini adalah rejeki dan ajal. Tidaklah kita melihat bahwa Allah Swt. Menerangkan keduanya dalam Al-Quran. Tanpa disertai syarat tertentu ?

“Dan tidaklah ada satu binatang melata pun di bumi, melainkan Allahlah yang memberi rejekinya”(QS. 11 : 6)

“Maka apabila telah datang waktunya, mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat dan tidak dapat pula memajukannya (QS. 7 : 34).

Rosulullah SAW. Bersabda :

“Ada empat hal yang telah ditentukan, yaitu penciptaan, perilaku, rejeki, dan ajal.”

Kedua,. Rejeki yang tertulis disertai syarat adanya usaha seorang hamba. Hal ini berupa pahala dan siksa. Allah menerangkan kedua hal ini dalam firmannya:

“Dan sekiranya Ahli Kitab beriman dan bertaqwa, tentulah kami tutup/ hapus kesalahan-kesalahan mereka dan tentulah kami masukan mereka ke dalam surga surga yang penuh kenikmatan” (QS. 5 : 65).

Jika dikatakan: “ kami mendapati orang yang mau berusaha, akan memperoleh rejeki dan harta yang banyak, sedangkan orang yang enggan berusaha tidak memperoleh rejeki dan tidak memiliki harta !” Hal itu berarti kita tidak melihat bahwa ada juga orang yang berusaha, namun tetap saja fakir dan melarat, dan ada orang yang enggan berusaha, namun diberi rejeki dan kekayaan yang melimpah ruah, sehingga menjadi orang yang kaya raya.Tentu hal ini menjadi ketentuan Allah Swt. Yang Maha Mulia dan Maha Bijaksana.Abu Bakar

Muhammad abin Sabiq, berkata dalam nasyidnya:

Berapa banyak orang yang kuat

Bahkan kuat sekali dan pintar, tetapi tidak kaya

Berapa banyak orang yang lemah, bahkan lemah sekali,

Seakan akan rejekinya tinggal mengeruk dari teluk lautan

Ini sebagai bukti bahwa Tuhan Maha Memiliki rahasia

Yang samar terhadap makhluknya

Yang tak dapat tersingkap oleh manusia.

Buku Sumber : Minhajul Abidin Karya Al-Gozali.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MANAGEMEN KEORGANISASIAN OSIS

Kurikulum SMPN 2Anjatan