TAFSIR SURAT AT-TIN

Tambahan Wawasan Kelas 9
TAFSIR AL QURAN KONTEMPORER
Disadur oleh : anha dari tulisan  Aam Amiruddin
 
 
 
AT TIIN
surat KE-95 : 1 - 8 ayat
 
1. Wat tiini waz zaituun
    "Demi Tin dan Zaitun,"
 
     Kata Tin dalam Al Quran hanya disebut satu kali, yaitu dalam surat ini. Ada
ahli  tafsir  yang  menyebutkan bahwa 'tin' adalah sejenis buah yang terdapat di
Timur  Tengah.  Bila  matang,  warnanya  coklat,  berbiji seperti tomat, rasanya
manis,  berserat  tinggi,  dan dapat digunakan sebagai obat penghancur batu pada
saluran  kemih  dan  obat  wasir.  Oleh  sebab  itu,  pada  Al  Quran terjemahan
Departemen Agama, kalimat Wattiin diartikan dengan "Demi buah Tin"
     Kata  Zaitun  disebut  empat  kali  dalam Al Quran. "Zaitun" adalah sejenis
tumbuhan  yang  banyak  tumbuh di sekitar  Laut Tengah, pohonnya berwarna hijau,
buahnya  pun berwarna hijau, namun ada pula yang berwarna hitam pekat, bentuknya
seperti  anggur,  dapat  dijadikan  asinan dan minyak yang sangat jernih. Zaitun
dinamai  Al Quran sebagai syajarah mubaarakah (tumbuhan yang banyak manfaatnya).
(Q.S. An-Nuur 24: 35)
 
     Tidak  semua  ahli  tafsir  sependapat  bahwa  yang dimaksud Tin dan Zaitun
adalah nama buah sebagaimana dijelaskan di atas. Ada juga yang berpendapat bahwa
'Tin'  adalah  nama  bukit  tempat  Nabi  Ibrahim a.s. menerima wahyu, sedangkan
'Zaitun'  adalah  nama  bukit di dekat Yerusalem tempat Nabi Isa menerima wahyu.
Jadi  'Tin'  dan  'Zaitun' adalah dua tempat yang dianggap bersejarah, karena di
tempat itulah Nabi Ibrahim a.s. dan Nabi Isa a.s. menerima wahyu.
 
     Kedua  pendapat  tersebut sama-sama memiliki alasan yang kuat. Namun, kalau
kita  cermati konteks ayatnya, kelihatannya pendapat terakhir lebih logis karena
pada  ayat berikutnya, yaitu ayat kedua dan ketiga, Allah swt. berfirman tentang
bukit Sinai dan kota Mekah.
 
2. Wa thuuri siiniin
3. Wa haadzal baladil amiin
" dan demi bukit Sinai, dan demi kota Mekkah ini yang aman"
 
     Hampir  seluruh  ahli  tafsir  sependapat kalau yang dimaksud 'Thuur Sinin'
pada  ayat  tersebut  adalah  bukit Tursina atau lebih dikenal dengan nama bukit
Sinai,  yaitu  bukit  yang  berada  di Palestina, tempat Nabi Musa a.s. menerima
wahyu.  Sementara  yang dimaksud 'Baladil Amiin' adalah kota Mekkah, tempat Nabi
Muhammad saw. menerima wahyu.
     Dengan  ayat-ayat di atas Allah swt. bersumpah dengan empat tempat penting,
yaitu  Tin, Tursina (bukit Sinai), Zaitun, dan Baladil Amin (kota Mekah), dimana
pada  empat  tempat  tersebut  Nabi Ibrahim as., Musa as., Isa as., dan Muhammad
saw.  menerima  wahyu  untuk memberikan bimbingan dan pencerahan hidup pada umat
manusia.
     Bimbingan  yang  diberikan para nabi dan rasul ditujukan untuk menjaga agar
manusia  tetap  berada  dalam  kemuliaannya  karena  manusia adalah makhluk yang
diciptakan  Allah  swt. dalam bentuk yang terbaik, sehingga dijelaskan pada ayat
berikutnya,
 
4. Laqad khalaqnal insaana fii ahsani taqwiim
"sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dengan bentuk yang sebaik-baiknya,"
 
     Allah  swt.  dalam  ayat  ini menegaskan secara eksplisit bahwa manusia itu
diciptakan  dalam  bentuk  yang  paling sempurna. Ar-Raghib Al-Asfahani, seorang
pakar  bahasa  Al Quran menyebutkan bahwa kata 'taqwiim' pada ayat ini merupakan
isarat   tentang   keistimewaan   manusia   dibanding   binatang,  yaitu  dengan
dikaruniainya  akal,  pemahaman,  dan  bentuk  fisik  yang tegak dan lurus. Jadi
'ahsani taqwiim' berarti bentuk fisik dan psikis yang sebaik-baiknya.
     Kalau  kita  cermati  lebih  jauh,  sesungguhnya kesempurnaan manusia bukan
hanya  sekedar pada bentuk fisik dan psikisnya saja, kedudukan manusia di antara
makhluk  Allah  lainnya  pun  menempati  peringkat tertinggi, melebihi kedudukan
malaikat,
"Dan  sesungguhnya  Kami  telah  memuliakan  anak Adam (manusia) dan Kami angkut
mereka  di  darat  dan  di laut, dan Kami melebihkan mereka atas makhluk-makhluk
yang Kami ciptakan, dengan kelebihan yang menonjol." (Q.S. Al Isra 17:70)
     Pada  prinsipnya, malaikat adalah makhluk mulia. Namun jika manusia beriman
dan  taat  kepada  Allah  swt.,  ia  bisa  melebihi kemuliaan para malaikat. Ada
beberapa   alasan  yang  mendukung  pernyataan  tersebut.  Pertama,  Allah  swt.
memerintahkan kepada malaikat untuk bersujud (hormat) kepada Adam a.s. Saat awal
penciptaan  manusia  Allah berfirman, "Dan ingatlah ketika Kami berfirman kepada
para  Malaikat, "Sujudlah kamu kepada Adam", maka sujudlah mereka kecuali Iblis,
ia  enggan  dan takabur dan ia adalah termasuk golongan kafir." (Q.S. Al Baqarah
2:34)
     Kedua,  malaikat  tidak  bisa  menjawab  pertanyaan  Allah  tentang al asma
(nama-nama  ilmu  pengetahuan),  sedangkan  Adam a.s. mampu karena memang diberi
ilmu  oleh  Allah  swt.,  "Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama seluruhnya,
kemudian  mengemukakannya  kepada  para  malaikat,  lalu berfirman, "Sebutkanlah
kepada-Ku  nama  benda-benda  itu  jika  kamu memang golongan yang benar. Mereka
menjawab,  "Maha  Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain apa yang telah
Engkau  ajarkan  kepada  kami;  sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mengetahui lagi
Maha  Bijaksana."  Allah  berfirman,  "Hai  Adam,  beritahukanlah  kepada mereka
nama-nama  benda  ini."  Maka  setelah  diberitahukannya kepada mereka nama-nama
benda   itu,   Allah   berfirman,  "Bukankah  sudah  Kukatakan  kepadamu,  bahwa
sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu
lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan." (Q.S. Al Baqarah 2:31-32).
     Ketiga,  kepatuhan malaikat kepada Allah swt. karena sudah tabiatnya, sebab
malaikat  tidak memiliki hawa nafsu; sedangkan kepatuhan manusia pada Allah swt.
melalui perjuangan yang berat melawan hawa nafsu dan godaan setan.
     Keempat,  manusia  diberi  tugas  oleh Allah menjadi khalifah di muka bumi,
"Ingatlah  ketika  Tuhanmu  berfirman  kepada  para  malaikat, "Sesungguhnya Aku
hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi..." (Q.S. Al Baqarah 2:30).
 
     Mencermati  analisis  di  atas,  bisa  disimpulkan  betapa Allah swt. telah
memberikan  kemuliaan yang begitu tinggi pada manusia, bukan hanya yang bersifat
fisik  dan  psikis, tapi juga dari segi kedudukannya. Namun, kalau manusia tidak
mampu  mengemban amanah yang begitu besar, derajatnya akan turun ke tingkat yang
paling  hina,  bahkan  bisa  lebih  hina  dari  binatang  sekalipun, sebagaimana
dijelaskan dalam ayat berikutnya.
 
5. Tsumma radadnaahu asfala saafiliin
"Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya,"
 
     Kalau  binatang menghalalkan segala cara untuk memenuhi kebutuhan perut dan
syahwat  biologisnya,  kita tidak bisa mengategorikannya sebagai perbuatan hina,
karena binatang tidak diberi akal dan nurani. Namun, kalau manusia melakukan hal
yang sama seperti binatang, kita mengategorikannya sebagai perbuatan hina karena
manusia  diberi  akal  dan nurani untuk mengontrol perbuatannya. Nah, kalau kita
tidak  pernah  menggunakan  akal  sehat  dan  nurani untuk mengarungi kehidupan,
berarti derajat kita anjlok ke level yang serendah-rendahnya.
     Agar  tidak  turun  ke derajat yang paling rendah, Allah swt. memerintahkan
manusia  untuk  mengisi hidup dengan iman dan amal saleh, sebagaimana dijelaskan
pada ayat berikutnya,
 
6. Illalladziina aamanuu wa'amilushshaalihaati falahum ajrun ghairu mamnuun
"Kecuali  orang-orang  yang  beriman dan beramal shaleh; maka bagi mereka pahala
yang tiada putus-putusnya."
 
     Orang  yang  tidak  akan  turun  pada  derajat  yang  paling  rendah adalah
orang-orang   beriman.  Iman  secara  bahasa  bermakna  "pembenaran".  Maksudnya
pembenaran   terhadap  apa  yang  disampaikan  oleh  Nabi  Muhammad  saw.,  yang
pokok-pokoknya  tergambar  dalam  rukun  iman yang enam; yakni (1) keesaan Allah
swt.,  (2)  malaikat,  (3)  kitab-kitab suci, (4) para nabi dan rasul Allah, (5)
hari kemudian, (6) takdir yang baik & buruk.
     Peringkat iman dan kekuatannya berbeda antara satu dan saat lainnya. Begitu
pula  dengan  kekuatan  iman  masing-masing  manusia, berbeda antara satu dengan
lainnya.  Dalam  suatu riwayat, disebutkan bahwa 'Al immanu yaziidu wa yanqushu'
(iman  itu  fluktuatif,  dapat bertambah dan bisa juga berkurang). Karena itulah
kita wajib merawat iman agar tetap prima.
     Seseorang  dapat  dikatakan memiliki iman yang kuat bila memenuhi ciri-ciri
sbb:
1.  memiliki jiwa muraqabah, artinya selalu merasa dilihat, ditatap, dan diawasi
Allah swt.
2. hatinya mudah tersentuh dengan nasihat-nasihat agama,
3.   berjiwa   tawakal,   pasrah   kepada   Allah   setelah   berikhtiar  dengan
sungguh-sungguh,
4. selalu berkomunikasi dengan Allah dengan shalat dan doa,
5. memiliki kepekaan sosial, sehingga selalu menyisihkan sebagian hartanya untuk
fakir miskin.
 
     Ciri-ciri ini diambil dari firman Allah berikut ini,
"Sesungguhnya  orang-orang  yang  beriman itu adalah mereka yang apabila disebut
nama   Allah  gemetarlah  hati  mereka,  dan  apabila  dibacakan  kepada  mereka
ayat-ayat-Nya,  bertambahlah iman mereka, dan kepada Tuhanlah mereka bertawakal.
Yaitu  orang-orang  yang  mendirikan  sholat dan menafkahkan sebagian dari rizki
yang   Kami   berikan  pada  mereka.  Itulah  orang-orang  yang  beriman  dengan
sebenar-benarnya.  Mereka  akan  memperoleh  beberapa derajat ketinggian di sisi
Tuhannya dan ampunan serta nikmat yang mulia." (Q.S. Al Anfal 8:2-4)
 
     Setelah  beriman,  yang  bisa  menyelamatkan  manusia dari kejatuhan adalah
'Amilus  shalihat'  (beramal  saleh).  Kalimat  'Amilus shalihat' dalam Al Quran
disebut  hingga  52  kali.  Kata  'amiluu  berasal  dari  kata  'amalun, artinya
pekerjaan  yang  dilakukan dengan penuh kesadaran. Kata 'shalihaat' berasal dari
kata 'shaluha', artinya bermanfaat atau sesuai.
     Jadi,  amal  saleh  adalah  aktivitas yang dilakukan dengan penuh kesadaran
bahwa pekerjaan itu memberi manfaat untuk dirinya maupun untuk orang lain, serta
pekerjaannya  itu  sesuai  dengan  aturan-aturan  yang  telah ditentukan. Syaikh
Muhammad  Abduh  mendefinisikannya  sebagai  berikut,  "Amal saleh adalah segala
perbuatan yang berguna bagi diri pribadi, keluarga, kelompok, dan manusia secara
keseluruhan."
     Perlu  ditegaskan,  amal  saleh  harus  dibarengi dengan poin pertama yaitu
iman. Tanpa iman kepada Allah swt., amal yang dilakukan akan sia-sia belaka.
"Dan Kami hadapkan segala amal baik yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal
itu bagaikan debu yang berterbangan." (Q.S. Al Furqan 25: 23)
Maka  bagi orang-orang yang mengisi hidupnya dengan iman dan karya (amal saleh),
bagi mereka "ajrun ghairu mamnun" (pahala yang tiada putus).
 
7. Famaa yukadzdzibuka ba'du biddiin
"Maka  apakah  yang  menyebabkan kamu mendustakan hari pembalasan sesudah adanya
keterangan-keterangan itu?"
 
     Bentuk  pertanyaan  pada  ayat  ini,  dalam  bahasa  Arab disebut "istifham
inkari",  mengandung  penegasan bahwa tidak ada alasan apapun yang patut membuat
manusia  mendustakan  hari  pembalasan dan mengingkari ajaran-ajaran Allah swt.,
setelah mengetahui bahwa manusia diciptakan sebagai makhluk yang paling mulia.
     Surat  ini  kemudian  ditutup  dengan  kalimat bertanya yang bertujuan agar
manusia mau berpikir.
 
8. Alaisallaahu biahkamil haakimiin
"Bukankah Allah itu Hakim yang seadil-adilnya?"
 
     Seolah  ayat  ini  mengatakan, "Pikirkanlah wahai manusia, hanya Allah swt.
Hakim  yang  Maha  Adil dan Maha Mengetahui kebutuhan kamu. Oleh sebab itu hanya
aturan-aturan-Nya yang bisa memenuhi kebutuhanmu!"
 
Semoga  kita menjadi orang-orang yang dapat menjaga kemuliaan yang Allah berikan
dengan selalu meningkatkan iman dan mengerjakan amal saleh.
 
Amiin.
 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MANAGEMEN KEORGANISASIAN OSIS

Kurikulum SMPN 2Anjatan